Paradigma Pendidikan Kritis
(Fadhlur Rohman)
Tipe-tipe Pengetahuan
Menurut pemikiran Jurgen Habermas
terdapat tiga tipe pengetahuan, yaitu (1) Pengetahuan Teknis, (2) Pengetahuan
Praktis dan (3) Pengetahuan Emansipatoris. Ketiga pengetahuan ini memiliki karakternya
masing-masing dan memiliki implikasinya masing-masing dalam dunia pendidikan.
Tidak ada pengetahuan yang lebih tinggi dari yang lainnya, justru sebaliknya
ketiganya harus tertanam dalam diri peserta didik apabila ingin menjadikan
peserta didik itu sebagai seorang manusia seutuhnya, yang memiliki kesadaran
penuh atas diri dan kehidupannya.
Pengetahuan Teknis adalah
pengetahuan yang berfokus pada control kepastian. Paradigma utama pada
pengetahuan teknis adalah mencari kepastian dari realitas yang terjadi.
Tujuannya adalah untuk mengontrol realitas tersebut tanpa kecuali. Pengetahuan
praktis tidak seperti pengetahuan teknis yang berorientasi pada control
kepastian, Pengetahuan Praktis memfokuskan pencariannya atas suatu
pemahaman bersama atas realitas. Pengetahuan jenis ini menggunakan alat
hermeneutika dalam menganalisa watak dasar suatu realitas. Dan yang terakhir Pengetahuan
Emansipatoris. Pengetahuan emansipatoris adalah bentuk pengetahuan yang
mengonsentrasikan peserta didik untuk memahami realitas social berdasarkan
relasi dialektis kekuasaan.
Hampir sama dengan pengetahuan
praktis yang menghendaki pemahaman terhadap suatu realitas, hanya saja dalam
pengetahuan emansipatoris menyadari bahwa realitas sejatinya adalah konstruk
paradigma, ideology dan kepentingan yang beragam dan saling bertarung untuk
mempengaruhi ruang public (public sphare). Oleh karenanya pemahaman
tentang relasi kuasa menjadi penting, dengan tujuan untuk menghadirkan
alternative jawaban, berupa narasi tandingan atas dominasi wacana yang sedang
berkembang.
Jika ingin disederhanakan
kembali, pengetahuan jenis pertama adalah pengetahuan-pengetahuan alam dan
ilmu-ilmu pasti. Seperti biologi, fisika, kimia serta ilmu-ilmu teknik.
Orientasinya adalah control, jadi alam dikaji sedemikian rupa dalam rangkan
agar mampu mengendalikannya untuk kepentingan manusia. Pengetahuan kedua, adalah
pengetahuan-pengetahuan humaniora, seperti antropologi, bahasa, sastra dan
hukum. Orientasi pengetahuan kedua ini adalah untuk memahami realitas. Jika
pengetahuan teknis hendak mengendalikannya, maka pengetahuan praktis hendak
memahami watak dasar realitas. Karena yang dikaji manusia dengan segala
kerumitannya, tentu saja orientasinya bukan untuk mengendalikan, karena manusia
bukanlah dan tidak akan bisa dijadikan sebagai ilmu pasti.
Pengetahuan ketiga (pengetahuan
emansipatoris) adalah pengetahuan-pengetahuan social. Pengetahuan seperti
sosiologi, cultural study, ekonomi dll. Tujuan mempelajari pengetahuan
emansipatoris bukan hanya sekadar untuk mehamai makna, sebagaimana pengetahuan
praktis, bukan pula dengan arogan untuk mengendalikan dan mengontrol realitas,
melainkan untuk kepentinan pembebasan (liberasi). Pengetahuan tipe ketiga
bertujuan untuk memhami inti permasalahan realitas dan berusaha untuk
menjawabnya. Ia tidak menganggap realitas sebagai sesuatu yang baku dan statis,
melainkan sebagai arena pertarungan berbagai paradigma dan kepentingan.
Sehingga apabila realitas, terutama realitas social cenderung menindas, dan
tidak berpihak pada yang lama, tugas pengetahuan tipe ketiga untuk melawannya.
Relasi Kuasa dalam Pendidikan
Pendidikan kritis memiliki
pandangan dasar bahwa education is politics. Jika pengetahuan saja
memiliki relasi kuasa, maka pun juga dengan pendidikan yang pusat kegiatannya tidak
jauh-jauh dari pengembangan ilmu pengetahuan. Setiap kebijakan pendidikan
misalnya, selalu membawa implikasi terhadap terakomodasinya kepentingan satu
kelompok dan terpinggirkannya satu kelompok yang lainnya. Dalam kelas misalnya,
pilihan guru terhadap bagaimana cara dia mengajar akan sangat berdampak pada
peserta didik, apakah kelak ia menjadi active beings atau sebaliknya
menjadi passive beings. Menjadi kesadaran yang kritis dan aktif
mempertanyakan realitas atau sebaliknya justru menjadi kesadaran yang pasif dan
hanya menerima realitas tanpa mempertanyakannya. Sejatinya kesadaran pasif
adalah kesadaran semu, di mana sejatinya sebagai manusia ia telah kehilangan
kesadarannya.
Selain itu pilihan guru atau
lembaga pendidikan terkait tipe pengetahuan sepertia apa yang diajarkan pada
peserta didik (teknis, praktis atau emansipatoris), juga sangat berimplikasi
pada seperti apa subjektivitas peserta didik. Jika pengetahuan teknis yang
banyak diajarkan maka konsekuensinya pengetahuan akan dipisahkan dari proses
pembentukannya, dan proses pembelajaran hanya sebatas transmisi dan repitisi.
Terlebih karena di pengetahuanj teknis, realitas dianggap baku dan statis,
sehingga tidak ada perubahan pada realitas, dank arena ketiadaan perubahan itu
penerimaan adalah kunci dari pembelajaran.
Apabila pengetahuan praktis yang
diajarkan maka peserta didik maka peserta didik dapat menganalisis
kategori-kategori dan asumsi-asumsi yang membentuk realitas. Implikasinya
adalah pengetahuan tidak disampaikan lewat satu arah, melainkan melalui dialog,
baik peserta didik dengan guru maupun antara peserta didik dengan realitas itu
sendiri. Namun sayangnya pengetahuan ini tidak berusaha mencari hubungan antara
pengetahuan dan relasi kuasa yang melingkupinya. Pengetahuan jenis ini hanya
berfokus memahami apa adanya, tanpa menilainya. Sehingga tidak akan ada wacana
pencarian alternative bagi situasi yang terjadi, karena realitas dianggap
baik-baik saja. Realitas hanya harus dipahami apa adanya.
Apabila pengetahuan emansipatoris
yang diajarkan pada peserta didik maka akan membantu peserta didik untuk
memahami realitas social bedasarkan pada relasi dialektis kekuasaan. Argumennya
adalah bahwasannya realitas itu dibentuk oleh kompetisi antar paradigma, di
mana masing-masing paradigma membawa agenda, kepentingan dan ideologinya
sendiri-sendiri.
Komentar
Posting Komentar