Karakteristik Pendidikan Kritis
Pernah kita semua berpikir, untuk apa sebenarnya pendidikan
itu. Pernah kita semua berpikir di mana letak urgensi pendidikan bagi kehidupan
manusia. Dan apakah pendidikan bertugas untuk mebentuk manusia yang utuh,
manusia yang memiliki kesadaran penuh sebagai manusia, atau pendidikan hanya
bersifat sebagai transmitter pengetahuan, yang hanya mewariskan pengetahuan
produk masa lalu. Sudah sejauh mana pendidikan, dan pengetahuan sebagai salah
satu produk pendidikan, memberikan dampak yang konstruktif bagi kehidupan
social. Apakah dengan pendidikan peserta didik jadi tertantang untuk membaca
realitas, mempermasalahkan kondisi-kondisi tidak ideal di tengah masyarakat,
lalu menjawabnya dengan alternative solusi, atau sebaliknya justru bersifat
afirmatif, dan hanya mengikuti arus kehidupan, walaupun menyadari kalau hal
tersebut tidak ideal menurutnya. Apakah pendidikan memproduksi atau hanya
mereproduksi pengetahuan. Apakah pendidikan mampu menjadikan peserta didik
sebagai historical-beings (makhluk historis), yang secara aktif
menentukan jalan sejarah, atau sebaliknya justru menjadi manusia-manusia
oportunis yang hanya peduli pada kehidupannya. Bagaimana pendidikan harusnya
dijalankan?
Ada bebrbagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, di
antaranya adalah wacana tentang pedidikan kritis. Apa itu? Menurt Pulo Freire,
karakteristik paradigma pendidikan kritis adalah pendidikan yang senantiasa
berorientasi pada penyelesaian masalah yang terjadi sesuai dengan kondisi
zaman. Pendidikan kritis memberi pelajaran
bagi peserta didik untuk menjadi sosok pribadi yang berani, berani untuk
bertanya, berani untuk mempersalahkan kondisi-kondisi yang dirasa tidak ideal,
dan juga berani untuk menghadirkan berbagai solusi untuk memecahkan masalah
yang ia temui dalam realitas social. Sesuai namanya pendidikan kritis berharap
agar peserta didik mampu membangkitkan kesadaran kritisnya, yang merupakan
fitrahnya sebagai manusia, sehingga mampu memahami bahaya dan masalah yang dihadapinya,
serta membentuk kepercayaan diri yang mendalam untuk menyelasikan persoalan
yang telah ditemukannya dengan baik.
Tipologi Kesadaran
Pendidikan kritis berkeinginan agar kesadaran kritis mampu
menggeser dua tipologi kesadaran lainnya yang dinilai telah membelunggu fitrah
kemanusiaan yang sejati, yaitu kesadaran magis dan naif. Kesadaran Magis,
menggambarkan di mana manusia atau masyarakat secara luas, gagal untuk
membedakan mana realitas yang bisa dirubah dan tidak. Mana yang merupakan
takdir Tuhan dan mana yang merupakan konstruk social (produk budaya) yang bisa
diubah. Sehingga segala kejadian selalu dikaitkan dengan unsur-unsur
supra-rasional atau supranatural. Manusia tampak lemah, karena tidak berdaya di
hadapan realitas social, dan manusia hanya bisa menerima dan hidup di dalamnya,
walaupun itu tidak ideal bagi mereka.
Kesadaran Naif. Kesadaran ini dimiliki oleh
orang-orang yang sejatinya telah mampu membedakan mana realitas yang bisa
diubah dan mana realitas yang tidak bisa diubah. Dalam kesadaran ini seseorang
juga mulai memiliki kesadaran tentan sesuatu yang ideal dan yang tidak ideal.
Dan oleh karenanya ia berusaha mewujudkan idealitasnya itu. Hanya saja di tahap
ini, manusia hanya berpikir bahwa pusat masalah ada di dalam dirinya. Ia tidak
mampu, atau cenderung tidak berkeinginan untuk mengaitkan kehidupannya ke
wilayah yang lebih luas. Orang-orang di tahap ini gagal memahami bahwa realitas
social juga turut serta mebentuk dirinya. Ia hanya berfokus pada pengembangan
dirinya, dan cenderung kurang peduli pada nasib manusia lainnya, yang bisa jadi
tidak lebih beruntung dari dirinya.
Kesadaran Kritis. Kesadaran inilah yang
diharapkan mampu menggeser dua jenis kesdaran di atas yang menyebabkan manusia
cenderung bersifat fatalis dan tak memiliki kehendak untuk mengubah
nasibnya dan masyarakatnya secara luas. Pendidikan kritis berupaya mengarahkan
masyarakat pada tumbuhnya kesadaran kritis tidak lagi terbenam pada proses
sejarah, dan tidak mudah termakan oleh irasionalitas dalam melihat realitas. Menjadikan
manusia sebagai pelaku aktif dalam menentukan jalannya sejarah, bukan
sebaliknya yang malah menjadi budak sejarah yang senantiasa digilas oleh zaman.
Menumbuhkan Cinta dan Keberanian
Menurut Paulo Freire juga, pendidikan kritis adalah
pendidikan yang melahirkan cinta dan keberanian. Melahirkan manusia yang cinta
pada kebenaran dan hal-hal yang ia anggap ideal dalam hidupnya. Sekaligus
melahirkan manusia, yang karena kecintaannya itu pada nilai-nilai ideal dan
kebenaran, ia berani untuk mempertanyakan realitas yang mapan dan sekaligus
memberikan alternative jawaban untuk membidani lahirnya transformasi social.
Karena sejatinya realitas social, yang tidak adil dan penuh penindasan,
bukanlah keadaan yang bisa diterima begitu saja, melainkan harus diubah
sehingga sesuai dengan nilai-nilai luhur, dan cita-cita ideal kemanusiaan.
Menjadikan manusia bebas, dalam arti ia mampu berpikir dan bertindak atas
kehendaknya dan pertimbangannya sendiri, bukan sesuatu yang dipaksakan oleh
manusia lain kepadanya. Setiap realitas, bahkan yang dianggap paling sacral
sekalipun, harus berani dipertanyakan terus menerus untuk mencapai posisi yang
palling ideal. Singkatnya, selama ada realitas social yang menguntungkan satu
pihak, dan menzalimi pihak yang lain, di saat itulah manusia-manusia dengan
kesadaran kritis ini harus bergerak, dan memberikan tindakan nyata untuk
melawan kezaliman itu. Menumbuhkan cinta juga bisa dimaknai, dalam melawan
penindasan dan kezaliman hendaknya dilakukan dengan baik, dengan cara-cara yang
rasional dan arif, sehingga dapat tercipta suatu perubahan yang konstruktif
dalam proses transformasi social.
Komentar
Posting Komentar