Karakteristik Pendidikan Kritis


(Fadhlur Rohman)

Pernah kita semua berpikir, untuk apa sebenarnya pendidikan itu. Pernah kita semua berpikir di mana letak urgensi pendidikan bagi kehidupan manusia. Dan apakah pendidikan bertugas untuk mebentuk manusia yang utuh, manusia yang memiliki kesadaran penuh sebagai manusia, atau pendidikan hanya bersifat sebagai transmitter pengetahuan, yang hanya mewariskan pengetahuan produk masa lalu. Sudah sejauh mana pendidikan, dan pengetahuan sebagai salah satu produk pendidikan, memberikan dampak yang konstruktif bagi kehidupan social. Apakah dengan pendidikan peserta didik jadi tertantang untuk membaca realitas, mempermasalahkan kondisi-kondisi tidak ideal di tengah masyarakat, lalu menjawabnya dengan alternative solusi, atau sebaliknya justru bersifat afirmatif, dan hanya mengikuti arus kehidupan, walaupun menyadari kalau hal tersebut tidak ideal menurutnya. Apakah pendidikan memproduksi atau hanya mereproduksi pengetahuan. Apakah pendidikan mampu menjadikan peserta didik sebagai historical-beings (makhluk historis), yang secara aktif menentukan jalan sejarah, atau sebaliknya justru menjadi manusia-manusia oportunis yang hanya peduli pada kehidupannya. Bagaimana pendidikan harusnya dijalankan?

Ada bebrbagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, di antaranya adalah wacana tentang pedidikan kritis. Apa itu? Menurt Pulo Freire, karakteristik paradigma pendidikan kritis adalah pendidikan yang senantiasa berorientasi pada penyelesaian masalah yang terjadi sesuai dengan kondisi zaman. Pendidikan kritis memberi pelajaran  bagi peserta didik untuk menjadi sosok pribadi yang berani, berani untuk bertanya, berani untuk mempersalahkan kondisi-kondisi yang dirasa tidak ideal, dan juga berani untuk menghadirkan berbagai solusi untuk memecahkan masalah yang ia temui dalam realitas social. Sesuai namanya pendidikan kritis berharap agar peserta didik mampu membangkitkan kesadaran kritisnya, yang merupakan fitrahnya sebagai manusia, sehingga mampu memahami bahaya dan masalah yang dihadapinya, serta membentuk kepercayaan diri yang mendalam untuk menyelasikan persoalan yang telah ditemukannya dengan baik.

Tipologi Kesadaran

Pendidikan kritis berkeinginan agar kesadaran kritis mampu menggeser dua tipologi kesadaran lainnya yang dinilai telah membelunggu fitrah kemanusiaan yang sejati, yaitu kesadaran magis dan naif. Kesadaran Magis, menggambarkan di mana manusia atau masyarakat secara luas, gagal untuk membedakan mana realitas yang bisa dirubah dan tidak. Mana yang merupakan takdir Tuhan dan mana yang merupakan konstruk social (produk budaya) yang bisa diubah. Sehingga segala kejadian selalu dikaitkan dengan unsur-unsur supra-rasional atau supranatural. Manusia tampak lemah, karena tidak berdaya di hadapan realitas social, dan manusia hanya bisa menerima dan hidup di dalamnya, walaupun itu tidak ideal bagi mereka.

Kesadaran Naif. Kesadaran ini dimiliki oleh orang-orang yang sejatinya telah mampu membedakan mana realitas yang bisa diubah dan mana realitas yang tidak bisa diubah. Dalam kesadaran ini seseorang juga mulai memiliki kesadaran tentan sesuatu yang ideal dan yang tidak ideal. Dan oleh karenanya ia berusaha mewujudkan idealitasnya itu. Hanya saja di tahap ini, manusia hanya berpikir bahwa pusat masalah ada di dalam dirinya. Ia tidak mampu, atau cenderung tidak berkeinginan untuk mengaitkan kehidupannya ke wilayah yang lebih luas. Orang-orang di tahap ini gagal memahami bahwa realitas social juga turut serta mebentuk dirinya. Ia hanya berfokus pada pengembangan dirinya, dan cenderung kurang peduli pada nasib manusia lainnya, yang bisa jadi tidak lebih beruntung dari dirinya.

Kesadaran Kritis. Kesadaran inilah yang diharapkan mampu menggeser dua jenis kesdaran di atas yang menyebabkan manusia cenderung bersifat fatalis dan tak memiliki kehendak untuk mengubah nasibnya dan masyarakatnya secara luas. Pendidikan kritis berupaya mengarahkan masyarakat pada tumbuhnya kesadaran kritis tidak lagi terbenam pada proses sejarah, dan tidak mudah termakan oleh irasionalitas dalam melihat realitas. Menjadikan manusia sebagai pelaku aktif dalam menentukan jalannya sejarah, bukan sebaliknya yang malah menjadi budak sejarah yang senantiasa digilas oleh zaman.

Menumbuhkan Cinta dan Keberanian

Menurut Paulo Freire juga, pendidikan kritis adalah pendidikan yang melahirkan cinta dan keberanian. Melahirkan manusia yang cinta pada kebenaran dan hal-hal yang ia anggap ideal dalam hidupnya. Sekaligus melahirkan manusia, yang karena kecintaannya itu pada nilai-nilai ideal dan kebenaran, ia berani untuk mempertanyakan realitas yang mapan dan sekaligus memberikan alternative jawaban untuk membidani lahirnya transformasi social. Karena sejatinya realitas social, yang tidak adil dan penuh penindasan, bukanlah keadaan yang bisa diterima begitu saja, melainkan harus diubah sehingga sesuai dengan nilai-nilai luhur, dan cita-cita ideal kemanusiaan. Menjadikan manusia bebas, dalam arti ia mampu berpikir dan bertindak atas kehendaknya dan pertimbangannya sendiri, bukan sesuatu yang dipaksakan oleh manusia lain kepadanya. Setiap realitas, bahkan yang dianggap paling sacral sekalipun, harus berani dipertanyakan terus menerus untuk mencapai posisi yang palling ideal. Singkatnya, selama ada realitas social yang menguntungkan satu pihak, dan menzalimi pihak yang lain, di saat itulah manusia-manusia dengan kesadaran kritis ini harus bergerak, dan memberikan tindakan nyata untuk melawan kezaliman itu. Menumbuhkan cinta juga bisa dimaknai, dalam melawan penindasan dan kezaliman hendaknya dilakukan dengan baik, dengan cara-cara yang rasional dan arif, sehingga dapat tercipta suatu perubahan yang konstruktif dalam proses transformasi social.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma Pendidikan Kritis